TEMPO.CO, Jakarta - Kamis malam, 8 Agustus 2019, atau dua hari menjelang Idul Adha, Fadil (16 tahun)–-bukan nama sebenarnya--akhirnya pulang ke rumahnya di kawasan Jakarta Pusat. Orang tuanya menyambut dengan tangis sedu sedan setelah mereka terpisah sejak kerusuhan 22 Mei.
Fadil kembali dengan bekas luka bocor di kepala dan sabetan rotan di punggung. Sang ibu, Aminah--juga bukan sebenarnya--tak lupa memeriksa bola mata Fadil yang pernah dilingkari lebam.
Fadil adalah satu dari 62 anak yang ditangkap saat kerusuhan itu terjadi. Bersama yang lainnya, pelajar SMK itu sempat menjalani rehabilitasi selama 78 hari di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani, Jakarta Timur, sebelum permohonan diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana diterima.
Fadil disangka terlibat kerusuhan saat ditangkap di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu, Jakarta Pusat, pada Rabu malam, 22 Mei 2019. Saat yang sama kerusuhan menjelma dari demontrasi menolak hasil pemilu.
Sangkaan terhadap Fadil tak sepenuhnya keliru. Ditemui di rumahnya pada Sabtu 10 Agustus 2019, sulung dari empat bersaudara itu mengaku sempat mengangkat dua batu untuk diarahkan ke anggota polisi. Batu disebut diterimanya dari seorang pria bertopi di antara massa kerusuhan.
"Waktu itu jalanan seperti medan perang," katanya melukiskan kembali peristiwa tiga bulan lalu. Dia mengaku diajak temannya menyaksikan langsung lemparan batu serta bunyi petasan dan gas air mata bersahut-sahutan. "Katanya ada kerusuhan melawan polisi,” kata Fadil lagi menirukan ajakan itu.
Belum sempat ikut melempar batu, Fadil melihat massa sudah kocar kacir dikejar polisi. Fadil mengaku berdiam diri dan membuang batu. Anggota brimob pertama menghampirinya. "Ngapain kamu di sini dik," ujar si polisi yang dijawab Fadil, "Saya tidak kuat kena asap tebal (gas air mata)."
Garis hidupnya segera berubah ketika brimob kedua, berjarak hanya sepelemparan batu, menunjuk ke arahnya. Fadil mengaku langsung didekati dan dicekik. Bogem pertama mendarat di wajahnya pada detik itu. Fadil ditangkap karena kecurigaan olesan odol di sekitar matanya.
Demonstran terlibat kericuhan dengan aparat saat menggelar Aksi 22 Mei di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Rabu, 22 Mei 2019. Aksi damai ini berakhir ricuh setelah massa pengunjuk rasa dari Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat berusaha menjebol pembatas dari kawat berduri. TEMPO/Subekti.
Saat diseret, kata dia, satu per satu anggota Brimob melampiaskan kemarahannya. Tendangan dan popor senjata tak dapat dielakkannya. "Yang mengeroyok saya lebih dari 20 orang secara bergantian, mungkin polisi di sepanjang jalan ikut nonjok," katanya sambil menambahkan, "Hanya ada satu polisi yang sempat melindungi saya."
Menurut Fadil, kekerasan berlanjut di dalam pos polisi di Bawaslu. Di tempat itu Fadil melihat dua orang seperti dirinya dengan wajah berdarah. Ketiganya bersama-sama diangkut dari Bawaslu ke Polda Metro Jaya. Di sini dia berkumpul dengan lebih banyak orang lagi. "Saya tidak digebuki lagi karena saya bilang masih pelajar dan dipisah dengan yang dewasa."
Pada Jumat, 24 Mei 2019, Fadil dibawa ke Balai Rehabilitasi Anak Handayani. Sebelum menjalani rehabilitasi, kata dia, polisi sempat menjanjikan akan membawanya ke rumah sakit untuk mengobati luka di kepalanya. Selain bekas luka di kepala, sabetan rotan juga masih membekas di punggung Fadil. “Sampai sembuh sendiri belum pernah saya dibawa ke rumah sakit,” ucapnya.
Aminah membenarkan luka-luka yang dialami anak sulungnya itu. Dia menyatakan melihat langsung kondisi anaknya yang babak belur saat menjenguk di Panti Handayani. “Saya hanya bisa menangis, berlapang dada. Semua sudah terjadi dan semoga tidak terulang lagi,” ucapnya.